PM Toh (Agus Nuramal)
Pendongeng Asal Aceh
Hikayat Pendongeng di Masa Damai Aceh
"Di satu negri di ujungkarang, yang sering dilanda bencana gempa, air laut naik, bumi bergoyang-goyang, lalu orang-orang untuk menghindari gempa, beraya-raya membuat rumah anti digoyang tsunami ... "
MASIH ingatkah Anda dengan bait syair di atas? Bait syair ini kerap sekali muncul di layar kaca di saat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sedang dilanda bencana tsunami. Pendendang syair tersebut adalah seorang pendongeng hikayat babad asal Aceh, yang hingga kini masih melestarikan sebuah tradisi lisan dari daerahnya sendiri di tanah perantauan. Dialah Agus Nur Mulia yang berjuluk PM Toh dan sudah merantau ke Jakarta sejak tahun 1993.
Di sebuah kafe di Taman Ismail Marzuki (TIM), pada cuaca yang bersahabat, PM Toh biasa dijumpai. Perawakannya yang kecil, lincah, dan bersahabat membuat siapa pun yang berbincang dengannya menjadi cepat akrab. Kala itu dia tengah beristirahat sejenak melepas penat untuk mempersiapkan syuting di sebuah stasiun televisi yang sudah menjadi kegiatan rutinnya hingga setahun ke depan.
Sambil melinting rokok dan menyeruput secangkir kopi, dia lantas bercerita.
"Bermula dari menonton pertunjukan teater asal Prancis yang memainkan pertunjukan jenis troubadur di teater tertutup, aku kemudian jatuh hati. Pasalnya, pertunjukan yang dimainkan tersebut memiliki kesamaan dengan kesenian tutur yang ada di Aceh yang dikenal dengan nama deng de ria atau po ha bu atau PM Toh," katanya.
Dari situlah, pria lulusan D3 Institute Kesenian Jakarta (IKJ) Seni Pertunjukan tersebut memutuskan kembali ke Aceh pada tahun 1992 untuk belajar kepada Tengku Haji Adnan, seorang tukang jual obat keliling kampung yang cukup dikenal di Aceh daratan selama setahun. Di dalam memasarkan obatnya tersebut, Adnan kerap kali bercerita kepada para penontonnya dan ini membuat anak-anak ataupun orang dewasa menjadi terpikat dengannya.
Agus kemudian menyambar korek di meja, menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam lantas kebul asap rokok yang tebal diembuskannya kuat-kuat ke udara.
"Nama PM Toh sendiri adalah nama bus trans Sumatera tahun 1969. Singkatannya adalah Perusahaan Motor Onderneeling Nederlands. PM Toh ini adalah sebuah perusahaan joint company Aceh-Belanda. Nah, di bus itulah ada 20 buah klakson di kiri-kanan badan bus yang berbentuk terompet dan dimainkan dengan keybord," kenangnya.
Kacamata Palsu
Di saat Tengku Haji Adnan bercerita dengan memakai hidung dan kacamata palsu, tak jarang dia menirukan bunyi klakson saat hidung palsu yang berwarna merah itu dipencet. "Karena disukai, akhirnya dia dijuluki PM Toh," katanya sambil mengembuskan asap rokok mengepul ke udara.
Di saat belajar dengan PM Toh ini, Agus belajar ngomong di mana saja dan kepada benda di sekelilingnya. Ngomong dengan pohon pisang, ngomong dengan laut, dan ngomong terus tiada hentinya. "Eh payung, kenapa kau warna merah. Ada tulisan Mild lagi di sini. Dan sendok, ngapain kau tergeletak di sini," katanya mencontohkan.
Menurut Agus, tujuan dari banyak ngomong tersebut adalah untuk melatih spontanitas berpikir kita supaya tanggap. "Tradisi lisan ini sebenarnya sudah diturunkan secara turun temurun dan sangat imajinatif, maka untuk mendukung daya imajinatif tersebut, aku sering menggunakan media yang biasa dijumpai di sekitar kita. Seperti plastik kresek hitam untuk awan hitam dan sendok ditambah garpu bisa jadi pesawat terbang. Setelah itu, baru saya susun ceritanya," katanya. Inilah yang kemudian menjadi ciri khasnya selain irama yang cepat saat membawakan dongeng.
Saat pertama kali merantau ke Jakarta sekitar tahun 1998, Agus membawakan permasalahan Aceh dengan menggunakan simbol-simbol. Seperti saat bercerita soal pembunuhan di kampung Bronto, Aceh, ada adegan diserang dua buah pesawat tempur yang membombardir kampung itu dengan bom. "Pesawatnya kupakai dari botol Aqua dan bomnya kubuat dari plastik kresek yang digumpal hingga menyerupai bom," katanya.
Dan di saat masa pemerintahan Megawati, Agus memutuskan untuk tidak menyinggung lagi soal Aceh dikarenakan kekecewaannya pada pemerintahan saat itu yang memberlakukan operasi militer. "Saat itu, entah mengapa tidak banyak lagi orang yang mau menggelar pertunjukan lisan ini. Mungkin mereka tidak berani. Namun, tradisi ini tidak hilang," lanjutnya.
Kendati pada awalnya, hikayat yang Agus bawakan bernada kekecewaan terhadap operasi militer, namun dia masih tetap tidak dapat menghapus memori yang sudah telanjur tertanam dengan kuat. "Aku ini orang Sabang yang selalu berfantasi dengan laut dan pohon kelapa yang indah. Aku selalu kebayang dengan kekejaman yang berlangsung di Aceh saat masa operasi militer. Aku lihat dengan mata kepala sendiri," kenangnya.
Hingga kini, Agus sudah memainkan 540 kali pertunjukan yang sering digelar di berbagai acara mulai dari demo mahasiswa, sunatan, acara ulang tahun, hingga masuk ke dalam layar kaca. "Aku berharap dengan adanya perjanjian damai ini dapat memberikan hak untuk bebas berekspresi. Sekarang kita tunggu saja apa tanggal 4 Desember saat ulang tahun GAM nanti, mereka mau menggelar pawai kesenian dan tradisi lisan," kata pria kelahiran 17 Agustus 1968 ini.
Agus boleh sedikit berlega hati. Setidaknya, di tengah kondisi bangsa yang carut marut ini dan di tengah kesepakatan damai yang telah dicapai, dia berhasil mempertahankan tradisi bertutur lisan asal Aceh yang saat ini mulai digemari di tayangan layar kaca. "Saat ini, aku juga diminta untuk main di film anak-anak berjudul Reina garapan Riri Riza yang akan diluncurkan pada 13 Oktober mendatang. Di film itu, aku bermain sebagai tukang jual obat yang sangat pandai mendongeng dan disukai anak-anak," jelasnya.
Di akhir perjumpaan, dia menutup dengan salam. Demikianlah kisahku. Semoga apa yang kukisahkan nempel di kepala. Kalaupun gak nempel pun gak apa-apa ... jreng jreng ... (Ali Imron Hamid-48h)
Komentar