Kak Heru Budiarto
“Storytelling is the most powerful way to put ideas
into the world today”. Kalimat Professor Teologi Amerika Serikat, Robert
McAfee Brown yang artinya mendongeng adalah cara yang paling kuat untuk
menyalurkan ide pada dunia ini, menjadi penyemangat hidup Heru Budiarto,
pendongeng buta asal Surabaya.
Melalui dongeng, pemikiran, ide, norma hingga ajaran agama
bisa dengan mudah disampaikan dan dimengerti pendengarnya.
Diakuinya, sebelum buta, mendongeng sangat mudah
dijalani.Sebab dia berinteraksi langsung dengan pendengar. Tapi pasca menderita
kebutaan total, bercerita di depan umum menjadi sulit bagi pria 41 tahun ini.
“Ya begitulah, setiap kali saya menghadapi pendengar,
saya hanya memakai mata batin. Membayangkan wajah-wajah serius mendengarkan
cerita saya,” ujarnya.
Meski awalnya dia mengeluh, tapi akhirnya dia sadar
kekurangan itu berubah menjadi kelebihannya sebagai pendongeng. Pendengarnya
yang rata-rata anak sekolah, biasanya langsung tertarik untuk menyimak karena
penasaran, apakah si buta mampu bercerita?” Itu keuntungannya, jadi saya
menarik meski belum memulai cerita,” kelakarnya.
Diceritakannya, keputusan menjadi pendongeng sudah menjadi
pilihan hidupnya. Pria asli Sumenep, Madura ini sejak menyelesaikan studi di
Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Surabaya,
menerapkan sistem bercerita dalam mengajar ke anak-anak.
“Pertama kali saya mengajar di sebuah Taman Pendidikan Al
Quran (TPA) di daerah Darmokali Surabaya. Untuk mengatasi anak-anak yang ramai
di kelas, saya mendongeng, eh, ternyata mereka langsung suka,” kenang
bapak satu putri ini. Dari situlah, tekatnya untuk menggeluti dunia mendongeng
semakin membara. Lulusan Jurusan Hukum ini bahkan rela menanggalkan titel
Sarjana Hukum yang disandangnya untuk mendalami dunia dongeng. “Sekarang di belakang
nama saya arti titel SH adalah sarjana humor,” katanya tersenyum simpul.
Keceriaanya saat mendongeng, ternyata bertolak belakang
dengan lika-liku hidupnya yang penuh kepedihan.
Dikatakannya, saat mengalami kebutaan total pada medio 1997
silam, merupakan titik balik dalam kehidupnya. “Waktu itu saya hanya bisa
teriak menyebut nama Allah,” kenangnya.
Heru yang dikenal dengan nama panggung Ki Heru Cakra
tersebut, mengalami kebutaan akibat virus tokso yang menggerogoti syaraf
matanya. Kondisi itu diperparah dengan serangan virus rubela yang juga
menyerang retina matanya.
Upaya pemulihan sudah beberapa kali dilakukannya. “Saya
sudah menjalani sedikitnya 8 kali operasi. 4 kali di-laser, 2 kali operasi
katarak dan 2 kali operasi tanam lensa,” ceritanya.
Namun dia kemudian sadar bila Allah tak berkehendak, maka
usahanya tersebut takkan berhasil. Meski awalnya protes, tapi Heru percaya
kebutaan total itu merupakan berkah lain dari Sang Pencipta.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, derita hidup Heru
ternyata terus berlanjut. Semenjak mengalami kebutaan, berturut-turut Heru
kehilangan orang-orang yang dicintainya.
Pada tahun yang sama ketika dirinya dinyatakan buta,
ayahnya meninggal dunia. Pada 2004, giliran adiknya yang menghadap sang Khalik.
Setahun kemudian, anak keduanya yang masih berusia 4 bulan di kandungan
istrinya, juga tidak diberi kesempatan melihat indahnya dunia. Pada 2008,
ibunya turut menyusul menghadap Illahi. Yang terakhir, pada 2009 lalu, istrinya
menuntut cerai.
“Ibaratnya, lengkaplah sudah penderitaan ini. Saya
benar-benar hancur waktu itu,” katanya.
Meski demikian, Heru tak mau menyerah pada keadaan.
Mendongeng lah yang menguatkan batin pria bertubuh tambun ini. Bertemu
anak-anak tiap hari dan menularkan ilmu lewat cerita membuat Heru sedikit demi
sedikit mulai bisa menghilangkan kesedihan.
“Saya kuatkan untuk bisa mendongeng lagi, bertemu anak-anak
lagi. Dan ternyata respon merekalah yang menguatkan saya,” katanya.
Heru yang kerap membawa boneka ketika mendongeng
mengatakan, dari interaksinya dengan anak-anak itulah, dirinya mulai bisa
bangkit. “Sentuhan anak-anak yang masih suci itu yang membuat saya kuat. Mereka
suka mencium tangan, memeluk atau bahkan mengusap perut saya ini,” tuturnya.
Puing kebahagiaan yang sempat berserak kembali
ditatanya. Dia pun bersyukur, karena Allah telah memberikan penyangga
bagi hidup dan imannya, kala kepedihan menghampiri. Dia yakin Allah tak akan
mencoba kaumnya melebihi kemampuan. “Dan saya yakin Allah telah mengatur,
kebutaan dan dongeng ini menjadi jalan hidup saya. Saya akan terus berbagi
cerita yang menggugah semangat generasi muda, termasuk semangat untuk
beribadah,” katanya.
Kini, kegiatan Heru sehari-hari selain memenuhi undangan
mendongeng di beberapa sekolah, dirinya juga kerap memberikan pelatihan kepada
guru-guru TK dan SD untuk mendongeng.
Bahkan beberapa murid mendongengnya sudah berhasil meraih
beberapa penghargaan baik di tingkat lokal maupun regional. “Salah satu guru
yang saya ajari mendongeng bahkan ada yang sampai juara 2 lomba mendongeng di
tingkat nasional,” akunya bangga.
Heru sendiri mengaku tidak pernah memenangi lomba
mendongeng. “Tapi justru yang sering, saya dipercaya menjadi juri,” ujarnya
tertawa. den (Sumber : Surabaya
Post)
Komentar