Kak Sulistiawati



Anak-anakku, kalian sudah mengerjakan PR belum? Kalau sudah, ini, sekarang ibu kasih hadiah cerita....
Surabaya, Jawa Timur- Seorang ibu menggerak-gerakkan boneka kelinci yang disarungkan di tangan kirinya. Sambil mengecilkan suaranya, kemudian dia menyapa sekumpulan anak-anak yang ada di depannya.
Bukan sekadar menghibur, namun ibu tersebut akan mendongengkan sebuah cerita yang tentu saja sudah dinanti oleh anak-anak tersebut. Cerita berkisar tentang nilai-nilai moral dan budi pekerti.
Hari Rabu 10 Juni 2009 lalu, puluhan guru sekolah dasar dari berbagai kota di Jawa Timur mengikuti perlombaan mendongeng yang diadakan Dinas Pendidikan Jatim. Puluhan guru yang mewakili sekolahnya masing-masing, menampilkan berbagai bentuk dongeng. Dengan gaya khas masing-masing, mereka menuturkan cerita yang mempunyai muatan budi pekerti.
Begitulah dongeng. Didalamnya ada muatan moral yang sengaja ditanamkan kepada anak-anak. Caranya bisa dengan hanya dengan mengandalkan lisan, tetapi ada juga yang menggunakan properti sebagai sarana penyampai pesan.
Peserta yang rata-rata ibu-ibu itu kebanyaknya mendongan dengan menggunakan properti seadanya, yakni beberapa buah boneka tangan berbentuk hewan-hewan lucu, seperti kelinci, jerapah, dan kangguru, dia mulai memainkan peran monolognya. Berbagai suara yang muncul berbeda-beda seiring peran yang sedang dimainkan. Jika sedang memerankan kelinci, maka sebisa mungkin suara harus menggambarkan seperti seekor kelinci. Jika memerankan kangguru, maka suara harus diubah sesuai dengan peran kangguru.
Ada pula seorang peserta menggunakan properti yang lengkap dan megah. Laiknya sebuah pentas teater, seorang pendongeng berakting dengan mengatur blocking terlebih dahulu. Meski demikian, pada akhirnya yang menjadi bahan ceritanya pun sama, yakni seputar fabel (cerita binatang), legenda, atau cerita rakyat suatu daerah.
Tidak hanya itu untuk menarik minat anak, dengan kostum yang memang direncanakan sebelumnya, seorang pendongeng tampil dengan gestur yang memang telah diatur sesuai dengan latar ceritanya. Jadi semua terkesan tidak ada yang spontan, melainkan sudah diatur dan dipersiapkan melalui latihan rutin.
Begitu pula dengan naskah cerita. Beberapa pendongeng mempersiapkan naskah cerita dengan mendownload dari internet, lalu dengan sedikit tambahan alur dan cerita serta dialog, naskah baru kemudian berhasil ditulis dan siap diceritakan pada anak-anak. Selain itu ada pula yang langsung mengambil dari buku-buku cerita yang sudah ada di toko buku dan majalah. Dengan menghapal inti ceritanya, lalu mereka menyiapkan berbagai improvisasinya.
Selain itu, ada pula pendongeng yang tampil tanpa memakai properti apapun.  Hanya dengan berdiri tegak di depan anak-anak, pendongeng itu sudah dengan mudah berinteraksi dengan anak-anak. Meski tanpa properti, namun tetap suara menjadi hal yang penting. Buktinya, hanya dengan berdiri, pendongeng tanpa properti itu dalam waktu singkat sudah mampu memikat anak-anak untuk mendengarkan ceritanya.
Berbagai macam cara memang ditempuh oleh para pendongeng agar mampu menarik perhatian anak-anak yang didongenginya. Mulai dari penampilan megah dan properti yang biasa dibawa ke atas pentas teater, yang kemudian di usung di depan anak-anak, hingga hanya bermodalkan kecakapan memainkan intonasi dan tekanan suara serta keramahan dan suara memanja yang memang digemari oleh anak-anak.
Memang, kesan kesederhanaan penting dalam mendongeng. Bagaimanapun, yang dibutuhkan anak-anak adalah cerita dan ekspresi dari pendongeng yang berhasil ditangkap oleh anak-anak. Dengan begitu, anak-anak seolah akan merasa terlibat dalam cerita yang didongengkan oleh pendongeng.
”Properti yang dibutuhkan oleh anak-anak untuk bersedia mengikuti seluruh jalan cerita, itu hanya properti yang sifatnya pendukung dan praktis saja, seperti boneka misalnya,” ujar Gumun Santoso, salah satu pendongeng yang juga seorang kepala sekolah di Blitar.
Padahal, sebenarnya, jika dirunut dari sejarahnya, dongeng sebenarnya merupakan salah satu bentuk tradisi lisan yang disampaikan memang secara lisan tanpa ada sebuah persiapan stage seperti laiknya pentas teater dan drama.
Memang, properti yang berlebihan akan membuat dongeng menjadi terasa berlebihan. Dongeng yang seharusnya mengutamakan keterampilan dan kecakapan bercerita, menjadi samar ketika tertutupi oleh properti yang megah dan wah. Perhatian anak pun bisa jadi akan beralih dari pendongeng ke properti tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh Lukmanatul Hikmah, seorang pendongeng asal Pasuruan, dia juga tidak begitu sepakat jika dongeng sepenuhnya menjadi ajang pementasan dan adu akting. Menurutnya, properti seperti boneka-boneka tangan masih wajar dipakai oleh seorang pendongeng. Selebihnya itu, misalnya properti lain yang mendukung latar menurutnya terlalu mubazir. ”Sebenarnya sih sah-sah saja. Hanya kok menurut saya itu tidak terlalu penting,” ungkapnya.
Sedangkan berbeda lagi bagi Sulistyowati, seorang pendongeng asal Surabaya. Dengan membawa serta properti yang tidak biasa, dia selalu hadir menyapa anak-anak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dengan sapaan khasnya.”Apa kabar anak-anak?” sapanya selalu dengan suara cempreng yang pasti diikuti dengan suara riuh tawa anak-anak peserta PAUD.
Memang, diakuinya, properti yang dibawanya bukanlah menjadi yang utama. Tapi, tanpa properti itu, dirinya mengaku tak berdaya. Diceritakannya, pernah dia tampil tanpa properti itu, hanya berbekal boneka tangan yang lucu. Di tengah dongengannya, dia lupa dialog dan cerita selanjutnya. ”Itulah percaya atau tidak, kalau dibilang tergantung dengan properti, ya saya memang tergantung,” ungkapnya.
Intinya, perlu atau tidaknya sebuah properti yang megah untuk sebuah dongengan tidak perlu diperdebatkan. Seharusnya yang menjadi permasalahan adalah ada atau tidaknya pendongeng yang mempu bertahan untuk menjadi seoran pendongeng. Setidaknya cukup masuk akal yang dikatakan oleh Yuniani, seorang pendongeng asal Nganjuk yang berpendapat, selama ada orang yang senang berada di dekat anak kecil sekaligus sadar bahwa pendidikan budi pekerti pada anak itu lebih penting dari pendidikan materi, pendongeng akan tetap ada.  (Arief Junianto)

Sumber: http://www.surabayapost.co.id/ (13 Juni 2009)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kak Imung

Kak Poetri (Poetri Suhendro)

Kak Wuntat Wawan Sembodo