Kak Joko (Djokolelono)


Bicara Tentang Dongeng

Siang disudut Children Corner Toko Gunung Agung di Tendean Plaza, Jakarta Selatan. Lebih 50 anak-anak kecil berkumpul membentuk setengah lingkaran asyik menyimak dongeng yang diceritakan Djokolelono. Dengan mimik lucu, bersahabat dan kadang diseling bahasa yang diplesetkan menjadi sebuah lelucon yang menyegarkan. Bukan hanya kata dan lelucon, juga dengan sajian gambar-gambar menarik di tiap lembaran kertas, semakin membuat sekumpulan anak itu betah tak beranjak dari tempatnya.

Trend barukah ini? Mendongeng dengan dilengkapi gambar atau alat peraga lain seperti boneka, wayang dan lainnya. Menurut Djokolelono pecinta anak, hal ini tergantung pandangan orang, apalagi yang tidak terbiasa. Bagi pria berambut merah dan eksentrik ini, mendongeng dengan dilengkapi gambar merupakan siasatnya agar anak lebih konsentrasi menyimak dongeng yang dia sajikan. Gambar hanya sebagai alat untuk menarik perhatian anak. Selain gambar sebagai alat agar anak konsentrasi menyimak dongeng, ada juga pendongeng yang memanfaatkan boneka, juga wayang sebagai pelengkap. “Karena anak sampai umur 5 tahun, perhatian mereka pada sesuatu masih mudah terpecah atau terpengaruh ketika melihat obyek lain,” ungkap Djokolelono. Kadang juga dilengkapi dengan bunyi-bunyian untuk memikat perhatian mereka. Djokolelono yang tertarik pada dunia dongeng ini mulai asyik menekuni dunia anak sejak ia menulis cerita anak-anak. Tentu saja karena ia senang pada anak-anak, dengan visi menghibur dan cerita menjadi nomor dua, tentu cerita dengan muatan pesan moral yang baik. Seperti siang itu ia mendongeng tentang sebuah persahabatan antara seorang anak dan sebatang pohon. Sebuah persahabatan antara alam dan manusia yang saling memberi dan menerima, saling membutuhkan. Meski dalam cerita ini digambarkan anak sejak kecil hingga tua renta lebih banyak meminta pengorbanan sang pohon. Tentang pohon yang diminta mengorbankan diri dari mulai daun, ranting, dahan bahkan tubuhnya, pohonnya sendiri untuk ditebang sebagai bahan membuat rumah.

Djokolelono melihat dunia anak seperti dunianya dulu ketika masih kanak-kanak yang senang bila orang tua mendongeng untuknya. Ketika kecil ia suka menonton wayang dengan suritauladan antara kejahatan dan kebaikan, antara hitam dan putih. Dan ia merasa terhibur.

Yang sangat disayangkan adalah mulai memudar bahkan hilangnya permainan tradisional anak seperti petak umpet, gangsingan, gobag sodor atau permainan lain yang sering dilakukan anak-anak ketika terang bulan dihalaman rumah. Kini sejalan dengan perkembangan dunia, anak lebih suka bermain playstation atau melihat film laga anak-anak dari negeri asing yang membanjiri dunia pertelevisian kita. “Hal ini merupakan kegagalan kita mempertahankan atau setidaknya melestarikan permainan tradisional. Namun saya kira belum terlambat untuk mengembalikan dan mengenalkan kembali anakanak kita pada permainan tradisional,” kata Djokolelono.

Untuk menumbuhkan kembali kecintaan anak pada permainan dan cerita rakyat bisa saja dimulai dengan melakukan metode-metode tertentu. “Tapi jangan drastis, bisa saja kita membuat wayang dengan jalan cerita yang up to date. Cerita anak dengan tokoh yang mudah dikenal dan diingat anak, dengan nama yang populer. Kita lihat cerita Keluarga Cemara, cukup bagus meski konon masih kalah dengan Harry Potter. Tapi itu saya kira

terletak pada marketingnya,” Katanya panjang lebar. Menumbuhkan kembali kecintaan anak pada cerita negeri sendiri agar tidak dilakukan dengan drastis karena dia punya alasan, bila kita paksakan anak harus kembali pada cerita rakyat dengan mengenalkan hikayat atau apapun namanya dikhawatirkan terlalu ekstrim sehingga anak akan kaget dan acara seperti mendongeng bisa menjadi klasik, kuno, terlalu tradisionil. “Karena itu pelan-pelan, setahap demi setahap kita kenalkan anak pada cerita dengan nama-nama umum dan tentunya yang bermuatan moral yang baik, tentang budi pekerti,” Kata pria yang saat ini bekerja di sebuah perusahaan periklanan ini.

Bicara tentang komik yang saat ini membanjiri toko-toko buku, kita bisa sangat kompleks kalau bicara masalah komik sebagai sumber manusia. Dunia industri komik tidak menguntungkan, seperti labirin layaknya. Masih juga komik dari luar lebih maju dengan penyajian gambar dan cerita yang menarik. “Dulu masanya Ali Sadikin kita dilecut untuk membuat buku. Itu sangat bagus, namun sempat menurun akibat masuknya buku-buku import. Saya ingin dunia buku atau cerita anak berkembang lagi dengan kekayaan cerita yang kita miliki,” katanya. Ingat saja ketika serial Mahabharata atau Ular Putih ditayangka televisi, saat itu opera tradisional sempat naik pamor lagi dengan dibungkus cara-cara modern. Pernah juga kita buat film animasi yang menyajikan cerita rakyat seperti Cindelaras, Hang Tuah, Bawang Merah Bawang Putih dan lainlain. Namun hanya sesaat filmfilm animasi ini muncul kepermukaan. Menurut Djokolelono cerita anak bagus tapi dari segi promosi kurang, di iklan cetak promosi sangat berperan.

Namun yang mulai nampak menggembirakan saat ini menurut Djokolelono kehadiran toko buku dan kebutuhan buku mulai terasa. Anak-anak kembali ke toko buku, peran buku sudah eksis lagi, mereka mulai merasakan kebutuhan akan bacaan apalagi bila saat-saat tertentu dihadirkan acara-acara menarik seperti mendongeng di toko buku, akan semakin menarik minat anak pergi ke toko buku.

Diakhir perbincangan, Djokolelono berharap Toko Gunung Agung membuat serial buku anak yang populer sifatnya. Bisa saja diambil dari media televisi yang kemudian dikemas menjadi buku. Juga tentunya kreatifitas dan peran serta para penulis kita untuk turut menyumbangkan cerita bagi anak-anak kita.

Sumber : http://www.tokogunungagung.co.id/index.php?go=read_toga_news&id=18

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kak Imung

Kak Poetri (Poetri Suhendro)

Kak Wuntat Wawan Sembodo