Kak Trontong (Trontong Sadewa)

SENIN, 29 Juli. Angin mati. Rembang petang menggerahkan. Tetapi saya dan Trontong Sadewa tetap asyik bercakap. Tak ada gurat kelelahan di wajahnya meski dia baru pulang dari Yogya, setelah empat hari (24-27 Juli) pentas di arena Marketing Exhibition Media Industry di Jogja Expo Center. Ya, wayang dongeng dengan dalang Trontong Sadewa adalah salah satu sajian andalan stan Suara Merdeka di arena itu.

Kapan pentas lagi? "Rabu 31 Juli di Teater Terbuka TBRS," ujar dia seraya tersenyum. "Tanggal 10 Agustus di Vila Siberi, Banjarejo, Boja, Kendal, 16 Agustus di kampung saya, Krobokan, dengan warga kampung, dan 19 Agustus di Semanding, Kendal, dalam acara yang diorganisasikan Agung Wibowo."

Trontong lahir di Boyolali, 25 Januari 1963. Kini dia tinggal di Jalan Cempolorejo Raya 17 Krobokan, Semarang, bersama istri, Lies Hartini Utomo, penari dan pelatih tari Jawa klasik. Lulus dari Fakultas Hukum Undip, 1991, dia diterima sebagai pegawai negeri Departemen Kehakiman. Namun dia tak jadi bekerja sebagai abdi masyarakat saat mendengar bakal ditempatkan di penjara. "Saya tak akan merasa nyaman setiap kali melihat orang terkerangkeng jeruji besi. Mboten tegel," katanya.

Bagaimana kepekaan dan kelembutan hati itu terasah? "Mungkin karena pada masa kecil hampir setiap malam didongengi Bapak. Favorit saya kisah Baron Sekeber."

Kini dia pun selalu mendongeng untuk anaknya, Anggana Listya Dewaji (5) dan Putri Listyana Dewi (3), dalam bahasa Jawa. Kenapa? "Biar anak-anak tak lupa akar budaya mereka," kata Trontong, lagi-lagi sembari tersenyum.

Amanat Mbah Tris

Kecintaan pada dunia dongeng-mendongeng membuat dia dekat dengan Drs Soetrisno alias Mbah Tris. Pensiunan guru SMA Negeri 1 Semarang itu dalang wayang kancil atau wayang fabel dan pengasuh acara mendongeng di Radio Lusiana bersama Mbah Pomo.

Mbah Tris kerap kali ke rumah Trontong. Dua kali dia memberikan uang Rp 200.000, seusai mengambil uang pensiun, untuk biaya pembuatan wayang karton. Ketika dalang wayang kancil itu sakit, Trontong dan kawan-kawan membesuk. Dia membawa pula wayang karton pesanan. Begitu melihat mereka, Mbah Tris bangkit dan mendalang.

Mbah Tris menilai Trontong piawai mendongeng. Mumpuni pula berbahasa Jawa. Itu tak mengherankan sebab dia juga berprofesi sebagai panatacara. Karena itulah, barangkali, Mbah Tris memberi amanat agar Trontong mendongeng bermedia wayang karton. Mbah Tris pula yang menamakan "temuan" itu sebagai wayang dongeng. Melalui "wayang gagrak anyar" itulah dia, bersama "Babahe" Widyo Leksono, Agung Wibowo, Sendang Mulyana, Daniel Hakiki, Bowo Kajangan, Supriyati, Yoyok, Widodo, Sri Paminto, dan sesekali pesinden Kumijantoro dari Swagotra Budaya, menyampaikan nilai-nilai budi pekerti.

Sumber cerita mereka olah dari isu lingkungan seperti penjarahan kayu hutan dan pencemaran. Ya, mereka antikekerasan, antiperusakan alam.

Kali pertama mereka pentas di Lengkongcilik, saat "peluncuran" laboratorium seni dan kebudayaan itu, hampir setahun silam. Kini, Trontong agak lega, karena sedikit-banyak telah melaksanakan amanat Mbah Tris, sang guru. "Cuma sayang," kata dia, "Mbah Tris belum sempat menonton kami pentas. Beliau telah murud kasidan jati." Tapi bukankah amanat itu tak akan tersapu waktu? (Gunawan Budi Susanto-75)

http://www.suaramerdeka.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kak Imung

Kak Poetri (Poetri Suhendro)

Kak Wuntat Wawan Sembodo