Pak Raden (Drs. Suyadi)

Nama aslinya Drs. Suyadi, namun ia lebih dikenal dengan panggilan Pak Raden. Lahir pada 28 Nopember 1932 di ujung Timur Pulau Jawa di tepi pantai Laut Selatan tepatnya di desa Puger dari keluarga besar dengan 9 bersaudara. Apa katanya tentang Film Boneka ‘Si Unyil’ yang diputar dalam versi yang jauh dari aslinya di sebuah TV Swasta? Bagaimana pandangannya tentang dunia anak-anak? Berikut obrolan TOGANEWS dengan Pak Raden yang belakangan kerap muncul pada acara-acara mendongeng di Toko Gunung Agung; Sejak kapan sih Pak Raden suka mendongeng? Saya sendiri tidak tahu, tapi sekali-sekali mendongeng yang bukan secara professional begini, tiap kumpul-kumpul mendongeng. Sejak kecil saya suka dongeng dan saya sebetulnya seorang ‘Perupa’, bidang saya senirupa. Di dalam bidang senirupa itu saya pilih senirupa yang naratif, yang mendongeng misalnya illustrasi buku anak-anak. Itu kan bidangnya senirupa tapi sifatnya mendongeng. Saya juga suka mendalang, satu bentuk seni yang bertutur. Dari dulu saya suka mendongeng dengan gambar, dengan main wayang ataupun dengan boneka.

Dalam pandangan Bapak, dunia anak-anak itu seperti apa sih?
Dunia yang menyenangkan. Rasanya tidak ada kesusahan. Kalau pada anak-anak yang bahagia, kalau pada anak-anak yang menderita ya memprihatinkan. Tapi dunia anak seharusnya dunia yang membahagiakan dalam keadaan yang normal, keadaan yang baik, keadaan yang tidak terganggu oleh situasi macam-macam.

Tentang film boneka ‘Si Unyil’ yang diputar dalam versi baru?
Saya sudah protes, tapi tidak digubris. Sejak semula saya tidak setuju, kok formatnya jadi lain. Unyil itu kan anak desa dan satu hal yang sangat menyimpang adalah bahwa ‘trade mark’ nya sudah hilang. Sesuatu yang khas secara visual dari Si Unyil itu anak kecil dengan muka lucu, pakai peci, pakai sarung diselempangkan, itu tidak ada lagi. Dulu kita lihat gambar anak pakai peci, sarung diselempangkan; Oo itu Unyil. Sekarang apa? Tidak ada bedanya antara satu dengan yang lain. Unyil yang tadinya sudah enak-enak hidup di desa, sekarang dibawa ke kota dengan alasan katanya anak-anak sekarang tidak suka lihat kehidupan di desa. Omong kosong! Justru kita ingin anak itu mengenal desa. Begitu banyak hal yang bisa kita pelajari dari desa. Kok terus dijadikan anak kota. Lalu satu hal lagi kalau sudah di kota itu apa yang mau dilakukan? Playstation? Kalau di desa dia dekat dengan alam, hutan, jurang, gunung, goa, segala macam. Sehingga kesempatan untuk bertualang banyak. Saya tidak anti, mungkin kalau nanti di desa akan ada juga Playstation, nah kalau seperti itu akan masuk juga akhirnya. Tapi kenapa dia harus dipindahkan? Satu lagi, penampilan Unyil dan lainnya dibuat dengan penggunaan kedipan mata dan mulut yang bergerak kalau bicara. Itu jelek sekali! Seperti monster kecil-kecil, melotot-lotot, dari segi estetikapun tidak bisa dipertanggungjawabkan. Padahal kita mendidik anak itu tidak hanya dengan petuah- petuah, dengan cerita, dakwah tapi secara visual anakpun harus dididik dia harus dibiasakan melihat sesuatu yang indah dan apa yang kita lihat dengan Unyil sekarang? Kasihan anakanak sekarang disuruh melihat film yang, sorry ya terus terang kadar estetikanya begitu rendah. Kasihan anak-anak Indonesia.

Bicara tentang komik luar yang sekarang lagi banjir, komentar Bapak?
Saya tidak anti komik, saya juga tidak anti membanjirnya komik. Cuma yang saya sayangkan para insan komik kita terdesak oleh komik-komik yang datang dari luar. Mereka punya alasan yang sebetulnya cukup masuk akal. Kalau kita menerbitkan sendiri, bayar pengarang, bayar ongkos cetak dsb, itu mahal. Tapi kalau kita menterjemahkan, gampang kan? Jauh lebih murah. Seperti di TV membuat sinetron untuk anakanak mahal, tapi kalau beli Doraemon-kan gampang. Mestinya harus ada kemauan dari kita sendiri, kemauan pelukis, para perupa kita, seniman kita harus diberi kesempatan. Sekarang masalahnya ini dari luar semua. Seniman harus diberi tempat, memang dari luar banyak yang baik, tapi dari kita juga banyak.

Apa yang paling menyenangkan dari masa kecil anda?
Yang paling menyenangkan terus terang kalau baca buku anak-anak. Zaman dulu paling senang kalau baca buku mungkin karena dulu belum ada TV jadi anak-anak menghabiskan waktunya dengan membaca. Di sekolah kalau sudah pelajaran membaca, itu yang paling saya nantikan, kenapa? Selain pelajarannya menyenangkan juga illustrasinya bagus-bagus. Ini hikmahnya kalau buku illustrasinya bagus, anak-anak dengan sendirinya akan suka membaca.

Terakhir, apa yang Bapak harapkan dari anak-anak kita?
Harapan saya adalah terhadap apa yang dinikmati anak. Buku yang bagus untuk anak, film yang bagus untuk anak, tontonan yang bagus untuk anak. Saya lihat sekarang di Gunung Agung banyak buku yang bagus untuk anak.
Sumber : http://www.tokogunungagung.co.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kak Imung

Kak Poetri (Poetri Suhendro)

Kak Wuntat Wawan Sembodo