Kak Kusumo (Kusumo Priyono)

Pada 1985, Kusumo Priyono tak memenuhi panggilan kakaknya untuk pulang ke lereng Gunung Sumbing, Magelang, Jawa Tengah, mengikuti pemilihan lurah. Bila tidak, mungkin predikat Raja Dongeng tak disandangnya kini.

Ia dikenal sebagai pencipta Gasa, Garuda Perkasa, yang lahir atas keprihatinan terhadap bangsa. Maklum, menurut dia, tokoh-tokoh kesayangan anak-anak sekarang selalu berasal dari impor dan aneh-aneh. Lihat Superman yang cawatnya kelihatan dari luar, Batman yang codot alias kelelawar sering menghama buah-buahan di pohon-pohon, atau tikus menjadi Mickey Mouse. “Garuda itu mulia tunggangan para dewa, itu tokoh teladan,” tuturnya tentang tokoh ciptaannya. Dan terutama, menurutnya, perilaku Gasa bisa jadi teladan anak-anak.

Sejak kecil, terutama setelah mampu membaca sendiri, ia sudah keranjingan mendengarkan dongeng dan mendongeng. Kegilaannya membaca semakin menjadi saat ia kelas 3 SD. Sepulang sekolah ia selalu nyamperi penyewaan buku. Segala macam buku termasuk komik dilahapnya. Tak aneh ia sangat mengagumi Panji Tengkorak dan Wiro Anak Hutan, selain Bende Mataram dan Satria Bukit Menoreh yang ia hafal benar. “Sekalipun sedang angon kerbau atau bebek, saya tetap membaca buku,” papar anak kedua dari sembilan bersaudara ini.

Puncaknya ia sampai menjual anak kerbaunya untuk membeli tempat penyewaan buku berikut isinya. Akibatnya -- rumahnya yang menjadi “markas” anak-anak -- semakin ramai saja. “Soalnya saya suka punya teman banyak. Teman-teman sekampung saya undang membaca di situ,” kenangnya.

Kak Kusumo -- begitu biasa ia dipanggil oleh anak-anak – memang tumbuh dan besar dalam buaian dongeng. Ayahnya R. Elang Sumawinata bin Pangeran Natagiri atau Pangeran Kusuma Natalaksana adalah cucu Sultan Cirebon. Meski seorang mantri pertanian, Sumawinata piawai mendongeng. Di kala senggang atau ketika sembilan anaknya hendak tidur, ia selalu mendongeng.

Sumawinata memang tak sekadar mendongeng. Di balik dongeng itu ia menyisipkan nasehat tentang sikap kepahlawanan, jiwa satria, kejujuran, dan etos kerja keras. “Itu dilakukan Bapak untuk menasehati kami. Ia tak pernah menasehati secara langsung selalu melalui dongeng,” tutur ayah dari Gasawati ini.

Ternyata dongeng membentuk kepribadiannya. Ia menjadi gemar mendongeng dan bakatnya kian terasah secara otodidak. Ia juga keranjingan meniru gaya bapaknya maupun dalang tertentu. Kadang-kadang, saat ia mendongeng, temannya hampir-hampir tak bisa membedakan antara imajinasi Kusumo dan kenyataannya. Cita-citanya pun tak seperti kebanyakan orang, ia “hanya” ingin jadi pendongeng. Sampai sekarang pekerjaannya sebagai pendongeng tertulis dalam KTP-nya.

Hebatnya, meski “melahap” komik dan novel, nilai rapor Kusumo tak pernah jeblok. Malah terbilang bintang kelas di setiap jenjang sekolah. “Nilai pelajaran sejarah, bahasa, dan hafalan selalu sembilan, kecuali matematika, saya enggak suka,” komentar Kusumo yang juga memahami psikologi anak.

Semasa kecil ia sempat dijuluki Yono Korden. Pasalnya korden rumahnya yang bergambar kancil, bunga, matahari, dan perahu itu seolah memberinya imajinasi cerita. Nah, saat lebaran ia meminta ibunya menjahit korden itu menjadi baju, “Rasanya gerah bukan main, korden kan tebal sekali,” kenangnya tergeli-geli.

Mulai SMP, buku-buku yang ia baca mulai menggelitiknya untuk menulis cerpen, puisi, dan novel. Masa-masa SMA pun ia masih terus mendongeng, malah, katanya, ke mana pun ia selalu dikerubuti temannya. “Saya di sekolah memiliki banyak teman, karena sukangobrol dan mendongeng,” ujarnya.

Kecintaannya terhadap dongeng akhirnya membuatnya terjun bebas ke dunia seni. Ia memilih kuliah di Studi Sastra dan Teater di Pusat Pengembangan Kesenian Jakarta. Hari-harinya di bangku kuliah itu juga penuh dengan aktivitas mendongeng. Bahkan ia memadukan keahliannya dengan seni peran.

Toh kehidupan sebagai seniman di Jakarta sempat membuatnya jenuh. Ia merindukan suasana kehidupan di desa, dan ingin kembali ke sana. Apalagi kakaknya yang telah mengakhiri jabatan lurah di lereng Gunung Sumbing, memanggilnya pulang untuk menggantikan posisi sang kakak. Saat itu tahun 1985. Ia bimbang juga, pasalnya, seminggu sebelum surat sang kakak datang ia telah mendaftar ikut lomba mendongeng tingkat nasional.

Tak dinyana ia memenangkan perlombaan itu, sontak hidupnya berubah. Uang senilai Rp 1 juta ia kantongi sebagai hadiah. Sebutan Raja Dongeng pun dilekatkan pada dirinya. Maklum, pesertanya datang dari seluruh provinsi di Indonesia. “Judul dongeng saya waktu itu Keong Emas,” paparnya. Banyak koran memberitakan kemenangannya, salah satu dengan memasang judul “Juara Mendongeng Nusantara dari Lembah Lereng Gunung Sumbing.” Nah, ia pun merasa terkenal dan tidak lagi tertarik pulang kampung.

Sejak itu ia memenuhi takdirnya sebagai raja dongeng, melakukan safari dongeng ke seluruh nusantara dari 1985 hingga 1989. Tak terbilang pengalaman unik menimpanya dalam perjalanan menebar cerita itu. Salah satunya ketika ia mendongeng di Kota Metro, Lampung Tengah, di sebuah pemukiman transmigrasi. Sembari bercerita tentang epos kepahlawanan Pangeran Diponegoro, ia memangku seorang anak kecil. Ia pun meniru kata-kata Jenderal Belanda “Godverdom! Tangkap ekstremis-ekstremis berkepala hitam itu,” suaranya menggelegar.

Dan tiba-tiba ada rasa hangat mengalir di celananya. “Ah ternyata anak yang saya pangku itu ngompol, kaget dengar teriakan saya,” ujarnya sembari tersenyum. Ibu si anak tergopoh-gopoh minta maaf. “Akhirnya saya, hanya bercawat dan bersarung, mencuci celana di sungai. Soalnya itu celana satu-satunya yang saya bawa,” kenang anak kedua dari sembilan bersaudara itu.

Kusumo tak mematok angka rupiah untuk urusan mendongeng. Di daerah pedesaan Jawa Tengah, ia kerap dibayar dengan pisang emas, kelapa dan beras. Bahkan saat mendongeng di Sulawesi, ia menerima ayam jago yang menurutnya sangat bagus. “Saya terbiasa dengan proyek sosial alias proyek thank you,” ujarnya.

Ia mengakui karir mendongengnya benar-benar merayap. Pernah mendongeng di kampung nelayan, desa terpencil, sampai masuk ke istana hingga ke mancanegara. Baru-baru ini ia memperoleh penghargaan The Asean Youth Exellence Award kategori bidang sosial dan anak pada 2001 di Kamboja.

Bertemu Neneng Chairunnisa saat ia menjadi juri Tilawatil Quran di Masjid Istliqlal, Jakarta. Ternyata Neneng putri Alamudin, salah seorang juri tilawatil. Empat bulan kemudiaan sang qoriah ia nikahi. Buah perkawainan itu melahirkan Gasawati.

Pada pemilihan gubernur DKI 2002, ia mencalonkan diri. Menang kalah tak masalah baginya. Sebab, ia hanya ingin mencoba apakah wakil rakyat dan para pejabat itu memegang janjinya, pemilihan gubernur berjalan demokratis. Siapa pun berhak mencalonkan diri. “Tapi ternyata mengecewakan, semua sandiwara belaka,” ujarnya.

Di masa kecilnya, Kusumo pernah ingin terbang seperti burung. Ternyata, hanya dengan mendongeng telah terbang melalang buana.

Sumber :http://www.pdat.co.id/hg/apasiapa/html/K/ads,20030627-37,K.html

Komentar

Unknown mengatakan…
bagaimana saya bisa dapat contact para pendongeng??
Unknown mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan…
Kak kusumo memang pelopor. Sekali pelopor tetap pelopor
Unknown mengatakan…
Saya sedikit tau tentang pak Kusumo Priono n R Elang Soemowinoto'karna beliu salah satu pembibing hidup saya dalam menjalani peejalanan hidup,'saya bersama Eang Soemo dari akhir 1996-1999) karna Eang pertengahan tahun 1999 wafat di Jakarta ,Smoga Eang Soemo mendapat tempat yang layak di sisi Sang Khaliq n Anak cucu yang di tinggalkan selalu mendapatka tambahan Restu,Berkah Rahmat yang melimpah,Amiin...Dr Sakur Semarang,,(saya sekarang kehilangan kontac dengan Pak Kusumo n kel Eang, barangkali ada saudara yang mwngetahui alamat n posisi Pak kusumo priono bila berkenan mohon infonya untuk di infokan ke email saya trimks.

Postingan populer dari blog ini

Kak Imung

Kak Poetri (Poetri Suhendro)

Kak Wuntat Wawan Sembodo