Made taro


“Cock-a-doodle-doo !! Marilah bermain !!! ”

Kokok ayam bukan sekedar pertanda pagi, bahasa unggas ini juga mencitrakan anak-anak. Dalam bahasa kehidupan, hari esok adalah hari depan anak-anak. Pikiran sederhana inilah yang menggugah Taro untuk selalu dekat dengan anak-anak. Bahkan teater yang ia dirikan sejak tahun 1979 di beri nama “Teater Kukuruyuk “

Made Taro adalah sosok pendidik yang sederhana. Ia sangat mencintai pekerjaannya yang selaras dengan hobinya bercerita, menginventarisasi permainan anak-anak, menciptakan lagu anak-anak. Sehingga banyak prestasi yang telah ia raih, diantaranya pernah meraih guru teladan tingkat Propinsi Bali, serta pernah meraih hadiah penulis cerita anak-anak terbaik tingkat Nasional di Jakarta.

Menulis cerita anak bagi Taro, adalah panggilan jiwanya. Dorongan intuisi kreatifnya merangsangnya melakukan kegiatan menulis cerita anak-anak, sehingga ia sangat jarang memperhitungkan uang. Ketika ia memperbanyak buku yang ditulisnya, Taro melakukannya dengan merogoh koceknya sendiri, mengumpulkannya dari honorarium yang ia peroleh dari tayangan televisi maupun gajinya dari sekolah tempat mengajar.

Taro sangat bangga bila berhadapan dengan mesin ketik dan anak-anak. Taro merasa ada ketenangan jiwa bila sedang menulis, mengarang lagu anak-anak. Ketika ia menulis, terbayang dalam pikirannya, kelak tulisannya dibaca banyak orang, tidak hanya dipajang di perpustakaan atau disimpan dalam rak buku.

Taro bangga bila gubahan lagunya dinyanyikan anak-anak, sehingga ia merasa menjadi bermanfaat bagi kehidupan orang lain. Inspirasi Taro mengalir seperti mata air pegunungan, tak pernah kering. Berawal dari melihat anak-anak di asrama guru-guru SMA II Denpasar yang bengong saban hari, tak berbuat sesuatu, Taro melihatnya sebagai anak-anak yang telah kehilangan dunianya. Maka Taro berinisiatip untuk mengajak anak-anak itu bergabung untuk mendengar ia bercerita, mengajaknya bermain, pergi ke pantai, berolah raga, dua kali seminggu. Ajakan Taro berhasil, anak-anak tersebut sangat antusias, bahkan sangat menanti-nanti kehadirannya untuk bercerita. Taro tak hanya bercerita, tapi mengajarkannya budi pekerti, bahkan sampai – sampai berhasil mendidik anak –anak untuk memakai pakain dalam, dimana para orang tuanya sangat susah untuk memberitahu anak-anak mereka. Banyak pujian yang ia terima dari para orang tua anak-anak tersebut.

Sejak itulah Taro mendirikan sanggar cerita untuk anak – anak para penghuni asrama guru tersebut. Lalu Taro mulai menggali cerita cerita rakyat serta menulisnya sebagai bahan bacaan untuk anak. Taro membagi cerita anak tersebut ke dalam tiga jenis yakni yang berkaitan dengan dongeng, mitos atau mite serta legenda. Buku dongeng Taro yang terakhir yakni “Dongeng-dongeng Pekak Mangku” diilhami oleh ayah Taro sendiri yang suka bercerita didepan anak-anak dan cucunya. Cerita yang paling menarik baginya adalah cerita Pan Cubling yang pernah ditampilkan dalam bentuk operet di televisi.

Kebanggaan Taro yang lain adalah masuknya permainan anak-anak dalam kurikulum mengajar di sekolah anak-anak. Permainan local anak-anak tersebut telah masuk sejak tahun 1994 tetapi realisasinya baru pada tahun 1996. Ada 17 jenis permainan yang telah diterapkan di sekolah dasar kini. Semua permainan itu ada yang menggunakan sedikit gerakan, sedikit orang, hingga permainan yang membutuhkan banyak orang dan halaman luas. Dalam permainan tradisional asli, anak –anak melakukannya secara spontan dengan tanpa nyanyian, tetapi agar menjadi lebih menarik, Taro menambahkan nyanyian dalam permaianan tersebut sehingga lebih menarik, lebih semarak dan menjadi hidup. Metode pengajaran permainan di sekolah pun ia ajarkan secara demokratis. Ada metoda yang mana, anak-anak sendirilah yang memilih permainan yang mereka senangi. Metodanya sama seperti metode berolah raga, dengan memberikan sedikit gerakan pemanasan atau gerakan seperlunya, bila perlu disertai nyanyian tradisional Bali, setelah pemanasan badan selesai, barulah anak-ana memulai permainan tradisional. Setelah selesai permainan, anak-anak di berikan gerakan minim, yang bertujuan untuk penenangan. Berkonsentrasi lewat bahasa-bahasa isyarat. Setelah gerakan penenangan selesai, barulah anak-anak diberikan cerita cerita menarik sebagai penutup oleh guru pengasuh masing-masing sekolah.

Ditengah usianya yang kian uzur, serta pensiun sebagai guru pengajar di sekolah, Taro tak pernah berhenti untuk dekat dengan dunia anak-anak. Kini setiap hari Rabu dan Minggu, Taro tetap datang ke Sekolah Dasar No 18 Dauh Puri Denpasar, memberi aba-aba, meniup pluit, mengajak anak-anak untuk bermain, mengolah tubuh , berlarian kesana kemari, sambil berdendang, menyanyikan lagu-lagu rakyat, membuat hari-harinya menjadi berguna. Tua bukan berarti berhenti mengabdi. Kecintaannya terhadap dunianya mengalahkan phisiknya yang kian uzur din terpa umur.

Tapi bagi Taro, mengkoleksi 150 lebih jenis permainan tradisional nyaris punah, yang ia inventarisir sedikit demi sedikit, seperti zikir para pendeta lewat tasbihnya, adalah sebuah sumbangan tak ternilai buat masa depan kita. Bentuk kerja tanpa kata yang ia lakoni menjadikan Taro sebagai sosok soko guru yang patut ditiru oleh generasi kita sekarang. Selamat bekerja terus, si tua karang dalam kebisuan dan kesepian di tengah jaman yang semakin tak berujung…….

Sumber : http://pocastella.org/Face-Made-Taro.html


Siapa Bilang Remaja tak Perlu Dongeng

Dari judul tulisan ini muncul pertanyaan, masih tertarikkah remaja yang sudah duduk di SMA pada dongeng? Selama ini dongeng diidentikkan dengan dunia anak-anak usia anak SD dan TK. Namun, tidak demikian halnya dengan dongeng yang dibawakan oleh (Bapak) Made Taro, pensiunan guru itu. Ternyata model mendongeng Made Taro benar-benar bisa membuat pengapresiasinya yang remaja itu ikut terlibat secara fisik dan mental.

DONGENGAN Made Taro benar-benar mendapat sambutan hangat dari para remaja yang sudah berstatus murid SMA. "Dagangan saya laris," kata Made Taro setelah mendapat pertanyaan yang bertubi-tubi oleh anak yang berusia remaja, seusai mendongeng. Pertanyaan dari para siswa SMA ini diibaratkan dagangan oleh Made Taro. Penulis pun selaku guru sebelumnya bertanya-tanya, apakah remaja tertarik dengan dongeng.

Memang murid SMA yang telah menginjak usia remaja kurang lazim disuguhi dongeng. Pendongeng (Made Taro) pun berkata demikian ketika bicara di hadapan siswa-siswi SMAN 6 Denpasar di Wantilan Jaba Pura Sakenan, Serangan, pada Selasa (14/12) lalu, sebelum mendongeng. "Baru pertama kalinya saya mendongeng di hadapan anak tingkat SMA," kata Made Taro yang biasanya akrab dengan panggilan Pekak Taro karena mendongeng di hadapan anak-anak tingkat TK dan SD.

Walaupun anak-anak tingkat SMA, Made Taro yang pensiunan guru itu ternyata punya strategi yang jitu, bagaimana mendongeng untuk anak yang sudah menginjak usia remaja karena mereka sudah memperoleh pembelajaran sastra -- pengetahuan dan apresiasi. Cara bercerita Made Taro benar-benar menunjukkan keprofesionalan. Keprofesionalan ini telah membuat anak usia remaja terhanyut pada cerita dongeng. ABG beraktivitas berkait dengan dongeng. Dalam tanya jawab pun salah seorang remaja bertanya bagaimana cara mendongeng yang baik, mungkin ABG itu ingin menjadi pendongeng. Banyak pertanyaan yang disampaikan oleh murid SMA, di antaranya mereka bertanya, "Untuk apa kami diajak mengucapkan kata-kata yang aneh?"

Mungkin ada orang yang bertanya-tanya, "Mengapa anak usia SMA masih disuguhi dongeng atau cerita rakyat? Barangkali gurunya kurang kerjaan?" Pertanyaan semacam ini tentu wajar. Betapa tidak, anak tingkat SMA biasanya kegiatan bersastranya sudah berbentuk puisi modern, cerpen, novel, bahkan berteater. Remaja usia SMA bukan saja sebagai penikmat karya sastra seperti yang tersebut itu, melainkan juga sebagai penulis karya sastra yang potensial. Selama ini dongeng yang selalu diidentikkan dengan dunia kanak-kanak tidaklah selalu benar.

Pertanyaan seperti itu perlu diberi jawaban. Kita mencermati isi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia khususnya untuk SMA. Pada Kemampuan Bersastra, khususnya pada Kompetensi Dasar Menyimak Sastra salah satunya tercantum "Mendengarkan foklor (cerita rakyat) yang disampaikan secara langsung atau melalui rekaman". Kompetensi dasar seperti ini perlu disikapi oleh guru bahasa dan sastra Indonesia sehingga murid benar-benar dapat menikmati cerita rakyat atau dongeng. Selama ini rekaman cerita rakyat belum banyak ada di dalam dunia pendidikan.

Idealnya, guru mampu bercerita atau membawakan cerita rakyat di hadapan murid. Namun, tentulah tidak semua guru bahasa dan sastra mampu bercerita dengan baik -- walau hapal jalan ceritanya. Agar bisa bercerita dengan baik, tidaklah semudah mempelajari pengetahuan dari buku yang bersifat keilmuwan atau berlatih keterampilan berbahasa -- menulis dan membaca, misalnya. Tampaknya bakat sebagai tukang cerita juga menentukan, seperti halnya seorang dalang atau seniman yang lain. Bagi guru yang tidak mampu bercerita dengan baik sebaiknya mencari alternatif. Caranya, guru bisa mengundang tukang cerita sehingga ada suasana yang beda dalam pembelajaran sastra. Murid pun tidaklah selalu belajar di dalam kelas yang bersifat monoton.

Berkaitan dengan mendongeng, ada anggapan umum yang perlu diluruskan. Kuranglah tepat jika dikatakan anak usia remaja tidak layak lagi diberi cerita dongeng -- cerita rakyat. Untuk itulah perlu dipaparkan sedikit konsep dongeng dengan karya sastra berupa cerpen. Cerita rakyat atau dongeng adalah cerita dari mulut ke mulut -- anonim. Para penekun sastra tampaknya tidaklah terlalu membuat dikotomi antara dongeng dengan cerpen.

Tampaknya dongeng dengan cerpen dianggap sama saja. Bahkan, sastrawan sekaliber AA Navis (almarhum), sastrawan dari Sumatera Barat, menganggap dongeng dan cerpen sama saja. Marilah dicermati kalimat dalam cerpennya yang berjudul "Robohnya Surau Kami" -- "....Dan biang keladi kerobohan ini adalah sebuah dongengan yang tidak dapat disangkal kebenarannya...." Kutipan kalimat ini jelas menunjukkan bahwa seorang sastrawan tidak membedakan cerpen dengan dongeng. Putu Wijaya (1996) pun mengatakan, "....Di dalam dongeng nenek itulah saya menemukan realitas saya" (pada buku "Zig Zag"). Penjelasan kamus agak kabur, dongeng dikatakan "cerita yang tidak benar-benar terjadi" (Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 274). Apakah kisah cerpen benar-benar terjadi?

Kembali ke peristiwa Made Taro mendongeng di wantilan Pura Sakenan, ada beberapa catatan yang menarik bagi pendongeng, guru bahasa dan sastra, dan masyarakat peminat sastra. Dongeng telah membuka pikiran dan perasaan anak remaja untuk berkomunikasi dengan pendongeng, gurunya, dan dengan temannya. Banyak temannya yang memberikan dukungan moral ketika salah seorang di antaranya bertanya atau memberikan tanggapan. Kegairahan mereka berkomunikasi melebihi dari biasanya kalau mereka belajar di dalam kelas.

Pertanyaan dari pendongeng, "Pesan apa yang ada pada cerita?" tampaknya bukanlah hal yang sulit bagi murid SMA untuk mengungkapnya. Tetapi, diskusi bukan sebatas pertanyaan itu. Pertanyaan murid bertubi-tubi ditujukan kepada pendongeng, termasuk gurunya. Kegairahan anak sangat beda dengan kondisi di kelas. Mereka memang enak diajak berdiskusi daripada "digurui". Kondisi ini sekaligus menjadi tantangan bagi guru agar terus mencari strategi pembelajaran. Suasana pembelajaran pun akan menggairahkan. Jadi, keuntungan yang diperoleh selain mengangkat nilai-nilai yang ada dalam dongeng, juga menumbuhkan kompetisi para murid untuk berkomunikasi -- tujuan dari pembelajaran bahasa dan sastra menurut KBK.

Ada juga keuntungan lain dari kegiatan mendongeng di hadapan para remaja. Dengan mengapresiasi cerita rakyat, berarti dunia pendidikan telah mengangkat nilai-nilai budaya masyarakat yang sudah ada sejak dulu ke permukaan. Budaya masyarakat kita adalah budaya kebersamaan, bukan perseorangan. Karya sastra cerita rakyat yang tidak pernah kita tahu siapa penciptanya (anonim) adalah cermin masyarakat kita yang tidak suka pamer kepintaran. Jadi, siapa bilang remaja tak perlu dongeng?

* igk tribana

Sumber :http://www.balipost.com/BALIPOSTCETAK/2004/12/19/kel1.html



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kak Imung

Kak Poetri (Poetri Suhendro)

Kak Wuntat Wawan Sembodo