Slamet Gundono


Menebar Dongeng
Jakarta -- Ada keramaian yang hangat di ruang aula Bentara Budaya Jakarta. Tempat digelarnya beragam acara kesenian yang terletak di Jalan Palmerah Selatan, Jakarta, itu tampak dipenuhi ratusan anak-anak pada Minggu (24/7) siang. Bukan, tempat itu bukan menjelma menjadi sekolah taman kanak-kanak. Namun, saat itu tengah digelar acara kesenian yang memang diperuntukkan bagi bocah-bocah lucu tersebut.

Mata mereka tampak membulat saat terdengar suara musik cokekan dari teras aula. Mereka langsung menoleh. Dari pintu masuk, muncul serombongan anak-anak membawa kentongan masuk berbarengan dengan Slamet Gundono. Dalang wayang suket yang bertubuh tambun ini menggiring anak-anak ke depan panggung.

Sampai di atas panggung, Gundono tidak berperan sebagai seorang pendongeng satu arah. Dia malah mengajak anak-anak pendengarnya untuk berinteraksi bersama. Puluhan anak yang ada di depan diajak naik ke atas panggung dan bernyanyi menirukannya. Lantas mulailah pertunjukan wayang suket digelar dengan judul Senggrutu. Lewat dongeng inilah Gundono membuka rangkaian festival mendongeng keenam di Bentara Budaya Jakarta, 23 - 26 Juli 2005.

Dengan gaya improvisasi, Gundono mengisahkan bagaimana seorang raksasa muncul merusak hutan dan menelan segala isinya, termasuk Senggrutu, seorang bocah yang tinggal di hutan. Di dalam perut raksasa, Senggrutu melawan dan berhasil membelah perut raksasa itu. Gundono mengakhiri cerita dengan menari-nari keluar ruangan. Puluhan anak kecil yang menontonnya mengikuti keluar. "Yang penting interaksi rasa dengan mereka, biar mereka sendiri yang membentuk imajinasi," ujar Slamet Gundono.

Dongeng memiliki banyak sekali kajian moral. Alur cerita di dalamnya selalu memberikan pesan tentang moral baik dan buruk yang terwakili dengan berbagai subyek pelaku cerita. Lewat kisah-kisah inilah, kita bisa menyampaikan pendidikan sosial yang bermoral dan berbudi pekerti baik kepada anak di lingkungan sosial sekitarnya.

Sayangnya, kebiasaan mendongeng ini semakin jarang dijumpai seiring dengan semakin kerasnya tuntutan hidup yang memaksa orang tua bekerja hingga larut malam. Waktu mereka semakin minim saat bersama anak sehingga dongeng tak lagi terlantun menemani mereka saat menjelang tidur. Tak mengherankan jika kisah orang tua--biasanya nenek yang mendongeng pada cucunya--mendongeng kini telah menjadi dongeng itu sendiri.

Padahal dongeng di Indonesia banyak memiliki simbol-simbol, terutama cerita fabel. Tiap daerah di semua provinsi Indonesia memiliki dongeng sendiri. Satu yang paling dikenal adalah cerita Kancil dalam berbagai episode. Lantas ada cerita si Nyamuk (Aceh), Pak Belalang (Palembang), Pangeran Katak (Bali), Uthak-uthak Ugel (Jawa), dan Ande Ande Lumut (Jawa). Begitu juga dongeng yang telah menjadi legenda, macam cerita Dewi Sri, Malin Kundang, dan Sangkuriang, dengan muatan moral sangat tinggi.

Murti Bunanta, pimpinan Kelompok Pecinta Bacaan Anak, menelaah kandungan moral yang ada dalam cerita rakyat ini secara perlahan mulai luntur. Dongeng yang sekarang ditulis ulang hanya berkisar pada cerita tertentu saja. Ini pun mulai dimasuki opini si penulis ulang agar tambah seru. Hasilnya terkadang malah membuat semacam distorsi moral itu sendiri. Bahkan beberapa yang sudah disinetronkan juga meluncur jauh dari pesan-pesan moral. "Seharusnya pengarang itu bisa mengambil intisari cerita rakyat untuk kembali diketengahkan," ujar Murti Bunanta.

Ini yang tengah diusahakan Kelompok Pecinta Bacaan Anak untuk mengembalikan kemurnian isi cerita dongeng pada tempatnya. Karena cerita rakyat ada yang untuk anak, remaja, dan orang dewasa, harapannya supaya cerita-cerita itu tidak salah sasaran. Setelah mengadakan penelitian untuk mengendapkan kajian moral, ada ratusan tema dongeng di Nusantara. Murti sendiri telah menuliskan dalam enam tema. Dari enam tema ini dapat ditulis ulang sebanyak 50 judul.

Dalam festival ini akan diperdengarkan beragam dongeng dari dalam dan luar negeri. Dari Puteri Kemang hingga Tunjur (Palestina), The Four Brahmins (India), Baby Sitter of An Egg (Jepang), Three Little Ghost Sister (Jepang), dan Gandharva Sen Is Dead (India). andi dewanto

Sumber : www.korantempo.com

Komentar

tk dhifa mengatakan…
bagus sekali sekarang memang harus ada selalu pertunjukan dongeng....karena orang tua sekarang tidak mengenal dongeng tapi senetron yang diperkenalkna oleh dia...kita harus bekerja keras....bagi pencinta dongeng....salam dari kami tk dhifa kab. gowa...sy suka membaca makalahnya...trims
tk dhifa mengatakan…
bagus sekali sekarang memang harus ada selalu pertunjukan dongeng....karena orang tua sekarang tidak mengenal dongeng tapi senetron yang diperkenalkna oleh dia...kita harus bekerja keras....bagi pencinta dongeng....salam dari kami tk dhifa kab. gowa...sy suka membaca makalahnya...trims

Postingan populer dari blog ini

Kak Imung

Kak Poetri (Poetri Suhendro)

Kak Wuntat Wawan Sembodo