Sekali lagi, Apa Perlunya Mendongeng untuk Anak? (SUPLEMEN)

Sekali lagi, Apa Perlunya Mendongeng untuk Anak?

Sudah sering disebut, kegiatan budaya mendongeng di lingkungan keluarga kini nyaris punah. Kondisi ini akibat desakan kebudayaan modern dengan hadirnya media televisi di rumah-rumah. Anak-anak akhirnya terlempar jauh karena tayangan dongeng modern itu tidak sesuai dengan akar budaya si anak. Sebagian besar dongeng yang berupa film-film kartun itu merupakan film impor yang datangnya dari Amerika, Jepang dan negara lainnya. Benarkah surutnya tradisi mendongeng di lingkungan keluarga banyak disebabkan kurang perhatiannya para orangtua lagi paada anak-anaknya? Sebenarnya, apa perlunya mendongeng untuk anak?

NEGARA Jepang sangat terkenal memproduksi film kartun dan film animasi, akan tetapi masyarakat di negeri itu masih kuat dengan sastra tradisi mendongeng. Aktivitas mendongeng di negara tersebut, tidak saja melibatkan pemerhati sastra anak-anak, tetapi juga pemerintah dan kalangan pengusaha. Pihak-pihak yang peduli akan dongeng ini menjalin kerja sama yang serasi untuk melestarikan budaya mendongeng, yang di Bali dikenal dengan istilah masatua.

Seperti yang pernah dimuat media pusat baru-baru ini, disebutkan, sebuah organisasi independen di Jepang, Ohanashi Caravan Centre dikabarkan secara rutin mendongeng dua kali dalam seminggu. Organisasi mendongeng ini mendapat dukungan banyak pihak, mulai perseorangan sampai perusahaan swasta raksasa seperti Sumitomo Enterprince Group, Tokyo Electronic Power Co dan lain-lainnya. Berbagai yayasan seperti Toyota Foundation dan Mitsubishi Bank Foundation juga sangat antusias membantunya.

Menengok apa yang terjadi di Jepang itu, ternyata sebagai negara industri terkuat di Asia, Jepang sangat peduli dengan perkembangan mental anak-anak melalui dongeng. Sebab banyak psikolog yang menilai bahwa mendongeng merupakan cara efektif untuk membentuk kepribadian anak sejak dini. Anak-anak dapat menilai mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk melalui tokoh-tokoh dalam cerita. Dongeng mengandung nilai-nilai etika, moral, kejujuran, kerja keras, kesetiaan dan lain-lain.

Selain itu, masyarakat di Jepang dapat menyeimbangkan pertumbuhan kebudayaan modern dengan kebudayaan tradisional. Kebudayaan modern yang sarat dengan teknologi itu berhasil digaetnya dengan memproduksi film kartun yang menarik seperti "Doraemon", "Saint Seiya", "Candy-candy", hingga "Ninjai Hatori". Sebaliknya, kebudayaan tradisional seperti mendongeng yang disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut dapat digalakkan terus oleh organisasi Ohanashi Caravan Centre. Kedua jenis budaya ini dapat terlaksana seiring dan sejalan. Bahkan film kartun dan animasi dari Jepang mampu menerobos dunia melalui layar kaca televisi dan banyak pemerhati dongeng dari negara-negara lain yang belajar di Ohanashi Caravan Centre. Termasuk pendongeng Indonesia, Seto Mulyadi, sempat belajar di lembaga budaya itu.

Perasaan Anak
Mungkinkan organisasi sejenis Ohanashi di Jepang itu muncul di Indonesia? Kalau saja komitmen melestarikan budaya tradisional tetap melekat kuat, mengapa tidak? Sebab, dongeng yang dikenal sekarang ini oleh anak-anak lebih banyak dalam bentuk tulisan yang dicetak dalam bentuk buku. Padahal tradisi mendongeng di nusantara ini sejatinya bersifat lisan dengan alur cerita yang sederhana dan latar cerita yang polos, menurut kemampuan pendongengnya. Walaupun dengan penuh keluguan dan kepolosan, dongeng yang disampaikan secara lisan ini tetap menarik. Anak-anak bisa menangis, marah, benci bercampur sayang dibuatnya saat mendengar dongeng. Perasaan-perasaan seperti ini, hampir tidak pernah dirasakan anak-anak ketika menonton film kartun di layar televisi.

Surutnya tradisi mendongeng di lingkungan keluarga, banyak disebabkan kurang perhatiannya orangtua. Para orangtua terlalu sibuk sehingga merasa lelah setelah di rumah. Sehingga kesempatan mendongeng tidak ada lagi. Maka organisasi yang mirip Ohanashi di Jepang perlu muncul di Indonesia. Jalan ke arah itu tampaknya sudah mulai dirintis di Jakarta. Di ibu kota negara ini sudah muncul pendongeng-pendongeng profesional, walaupun belum terbentuk wadah seperti Ohanashi. Tukang-tukang cerita yang siap menghibur anak-anak itu seperti Pak Kusumo, Pak Kanto dan Kak Seto Mulyadi. Mereka ini adalah pendongeng keliling yang siap dipanggil untuk bercerita di depan anak-anak pada saat acara perpisahan di sekolah atau ulang tahun anak-anak di rumah.

Mereka sangat piawai mendongeng, mampu menirukan suara-suara yang mendekati tokoh-tokoh dalam cerita. Untuk lebih menarik perhatian anak-anak, pendongeng-pendongeng tadi sering menggunakan boneka yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perkembangan mendongeng di Jakarta oleh tukang-tukang cerita ini semakin meningkat intensitasnya. Banyak pesanan dari orangtua untuk menghibur anak-anaknya, sekaligus juga bersifat mendidik. Para orangtua pun rela merogoh koceknya untuk membayar honor pendongeng. Bahkan mendongeng itu, kini sudah menjadi lahan pekerjaan baru di kota metropolitan Jakarta.

Telepon Cerita
Pendongeng-pendongeng seperti yang disebutkan tadi, tampaknya perlu dicontoh dan diterapkan di daerah. Di Denpasar misalnya, belum terdengar ada tukang cerita panggilan. Membangkitkan dan melestarikan tradisi masatua yang sering didengungkan hanya sebatas wacana saja. Justru perhatian terhadap kebudayaan warisan leluhur ini dilakukan oleh perusahaan Telkom Kandatel Denpasar melalui layanan telkom cerita dengan menekan telepon nomor 20414. Manajemen Telkom sangat peduli dengan dongeng, sebab kebiasaan mendengarkan cerita dengan tutur kata yang santun, anak-anak akan menyukai dan meresapi jalan cerita tersebut. Motto Telkom cerita ini adalah, menjadikan anak bangsa berbudaya Indonesia berakar adat daerah. Layanan telepon cerita ini sangat variatif, mulai dari cerita anak tradisional Bali cerita anak nasional, cerita anak manca negara dan cerita anak yang terkait dengan ilmu pengetahuan. Upaya menggali tradisi mendongeng akhirnya tetap menghadapi kendala. Kendala ini berhadapan dengan teknologi, karena cerita-cerita itu dapat diakses melalui layar kaca televisi dan pesawat telepon. Masyarakat menginginkan yang serba praktis, namun akhirnya dilematis. Akibatnya tradisi mendongeng kehilangan makna budaya.

* I Nyoman Suaka,
IKIP Saraswati Tabanan

Sumber : http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/3/2/kel1.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kak Imung

Kak Poetri (Poetri Suhendro)

Kak Wuntat Wawan Sembodo