Sujiwo Tejo


Mendongeng agar Anak Gemar Membaca

Mendongeng ternyata bisa memacu anak gemar membaca. Apalagi jika materi dongengan disajikan dengan menarik dan interaktif, seperti mementaskannya dalam bentuk teater atau drama di panggung.

Begitulah pendapat sejumlah pendongeng, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Ketua Kelompok Pecinta Bacaan Anak (KPBA) Murti Bunanta menuturkan, pada saat mendongeng, guru atau orangtua harus lebih dulu menunjukkan buku bacaan kepada anak. Bahkan, jika perlu, anak diminta membaca sebelum dibacakan ulang oleh orangtua atau guru.

”Dasar untuk mendongeng adalah buku. Jadi, bukunya ada dulu. Bukan sengaja membuat naskah untuk dipertunjukkan kepada anak. Tujuan KPBA mendorong anak agar gemar membaca, salah satu-nya dengan mendongeng,” papar Murti di sela-sela Seminar ”From Page to Stage” dalam Festival Men-dongeng Ke-6 di Bentara Budaya Jakarta pekan lalu.

Sebaliknya, menurut Sachiko Watanabe, Supervisor Ohanashi Caravan (grup pendongeng asal Jepang), kelompoknya selalu membagikan buku bergambar kepada anak yang sebelumnya telah didongengi. Dengan begitu, anak terpancing menceritakan kembali isi buku kepada kawan atau keluarga di rumah.

”Anak juga belajar mengingat kembali adegan demi adegan yang ditampilkan pendongeng. Dia akan meniru dan menunjukkannya kepada orangtua. Kami berharap, ini akan menginspirasi anak agar tertarik pada buku dan membaca. Jadi, dari buku, pentas, lalu kembali ke buku,” paparnya.

Ohanashi Caravan adalah yayasan yang menaruh perhatian pada kebudayaan dengan mem-perkenalkan cerita rakyat melalui pentas boneka, penerbitan, dan pendistribusian buku. Grup yang didirikan 30 tahun lalu ini berkeliling dunia mementaskan cerita anak semenarik mungkin.

Interaktif

* Agar anak bisa menghayati cerita, sebaiknya dia dibiarkan ikut berinteraksi dengan pendongeng. Cara seperti ini dilakukan grup Ohanashi Caravan.

Sachiko menuturkan, anak sebaiknya diberi kesempatan memberi komentar atas dongeng yang disajikan. ”Anak biasanya ingin menjadi bagian dari cerita atau menirukan tokoh. Jadi, biarkan saja itu terjadi, ini juga tidak merusak cerita,” ujarnya. Hal senada dikatakan Sujiwo Tejo, pendongeng, yg rutin memberikan pelatihan ke sekolah-sekolah.

Mendongeng secara interaktif, apalagi dengan media atau alat peraga, biasanya sulit diusahakan orangtua, apalagi jika mereka sibuk bekerja. Namun, sebenarnya orangtua bisa membuat media yang sederhana, seperti boneka, tali, kertas warna, atau manik-manik. Orangtua bisa menyiapkan media itu kala senggang.

”Alat peraga sangat penting. Kalau sekadar membacakan cerita, anak bisa bosan. Untuk mem-buat wayang beber, orangtua bisa membuatnya dari kertas, lalu digambari seperti adegan dalam cerita. Jika orangtua tak bisa atau tak punya waktu, biasanya sekolah mempunyai jadwal mendongeng,” ujar Anne Pellowski, pendongeng dari New York.

Sebagian sekolah memasukkan pelajaran mendongeng dalam kurikulum lokal. Hanya saja, lanjut Murti, guru harus pintar memilih materi bacaan. ”Selain itu, dongengan sebaiknya ditampil-kan dalam bentuk drama agar menarik,” ujarnya.

Di Jepang, karena guru sekolah (terutama SD dan SMP) sibuk menyiapkan materi pelajaran, mendongeng tak bisa dilakukan sendiri. Maka, pendongeng seperti Ohanashi Caravan sangat dibutuhkan. Biasanya, pihak sekolah mengundang Ohanashi mendongeng dan melakukan semacam workshop bagi guru.

Hal seperti itu juga dilakukan di AS. Seperti dikatakan Anne, pendongeng datang ke sekolah untuk pelatihan. ”Setelah itu, biasanya guru dan pustakawan mengembangkan diri dan membuat program mendongeng,” katanya.

Membangun karakter

* Manfaat lain mendongeng adalah melatih anak agar tak malu dan percaya diri. Awalnya, anak mungkin diam saja. Namun, lama-lama anak mulai bertanya dan menirukan tokoh dalam cerita.

Selain itu, mendongeng juga bisa menjadi wahana membangun karakter anak. Guru dan orangtua bisa menilai bagaimana sikap anak dengan menanyakan pendapatnya tentang sesuatu hal setelah dia didongengi. Setelah pendongeng selesai bercerita, anak sebaiknya ditanya, tokoh mana dalam cerita yang disukai dan mengapa.

Orangtua bisa menilai kecenderungan anak terhadap sesuatu hal. Apa yang dia sukai dan tidak, apa yang dia anggap baik atau buruk. Apalagi jika cerita itu menyelipkan petuah.

Sachiko mencontohkan cerita tentang tujuh gajah yang dilarang induknya makan buah tertentu. Namun, seekor anak gajah ingin tahu, mengapa memakan buah saja dilarang. Sang anak gajah nekat memakan buah, dan seketika dia sakit. Adakah orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya?!

(Susi Ivvaty)

Sumber : http://parenting.pustaka-lebah.com/?p=22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kak Imung

Kak Poetri (Poetri Suhendro)

Kak Wuntat Wawan Sembodo