DONGENG DONGENG VISUAL (SUPLEMEN)



DONGENG-DONGENG VISUAL
for everyone BY http://hikmatdarmawan.multiply.com/
                                                                     

Beberapa tahun lalu, saya menonton Interview with Vampire karena sebuah rasa takjub: Kenapa seorang Neil Jordan (penyair Irlandia yang juga sutradara jenial – film-filmnya yang telah mencuat waktu itu adalah We’re No Angels dan Crying Game) kok mau memfilmkan cerita yang amat mokal dari seri novel Vampire Chronicles karya Anne Rice?


Sebelumnya, saya juga menonton dengan antusias Bram Stocker’s Dracula (Coppola) dan Nosferatu (Warner Herzog). Bahan dasar ketiga film itu sama ‘aneh’-nya: mitos drakula/vampire, mahluk malam peminum darah. Pada karya Coppola dan Herzog, makhluk mitos itu ditempatkan dalam dunia yang ‘jauh’. Drakula-nya Coppola ada dalam sebuah dunia Eropa abad lalu, yang meski diberi bobot historis (sedikit), tapi diteatrikalisasi sedemikian rupa sehingga benar-benar terasa sebagai dongeng. Dan Nosferatu ada dalam sebuah dunia Eropa abad lampau yang kelam dan amat sureal. Sedangkan pada karya Neil Jordan, situasi awalnya saja sudah unik: seorang wartawan mewawancarai si penghisap darah…sebuah tabrakan yang disengaja antara dunia sehari-hari (“wawancara”/”wartawan”) dengan dunia mitos (“vampire”).

Seusai menonton Interview With Vampire, takjub saya bergeser. Nyatalah bahwa dari ide yang selintas tampak silly dan mengada-ada itu bisa lahir sebuah karya sinematis yang puitis dan memberi komentar yang cerdas tentang eksistensi, moral dan modernisasi. Saya takjub, dan merasa nikmat: sebuah dongeng visual telah tersaji dengan amat asyiknya.


Semakin matang

Takjub dan nikmat macam itu pernah saya rasakan sebelumnya (misalnya ketika saya menonton E.T., Blade Runner atau trilogi Star Wars). Tapi kini rasa takjub dan nikmat itu semakin sering terjadi. Dalam sebuah ruang gelap dengan layar lebar dan suara menggelegar, atau dalam ruang keluarga dengan sebuah TV (atau dalam kamar dengan monitor komputer dan VCD), akal dan imajinasi saya dimanjakan. Daya refleksi sebagai seorang “dewasa” dan gairah naluri “kekanakan” saya bisa bercampur tanpa malu-malu ketika menyaksikan Batman meloncat dari gedung ke gedung sambil membawa semacam problem kejiwaan dalam topeng dan jubahnya; atau ketika ikut tegang menyaksikan T-Rex dan Velociraptor lepas dan memburu manusia akibat kesombongan dan keserakahan manusia di Jurassic Park; atau saat bersimpati pada upaya Prof. Xavier mengatasi dilema para mutant dalam X-Men; dan merinding melihat proses menghilangnya Dr. Crane dan bagaimana ia mengamuk dalam The Hollow Man .

Sebetulnya tak cuma di Hollywood sensasi macam ini (bisa) dibuat. Medium film secara umum telah mengalami kemajuan. Hongkong, misalnya, dapat ditengok sebagai alternatif. Karya-karya Tsui Hark (seperti Once Upon a Time in China atau The Blade) bisa dipandang sebagai upaya meracik teknologi, ide dan unsur menghibur yang berhasil. Hanya karena selera dan nilai rasa kebanyakan kita yang kadung dibentuk oleh serbuan produk Hollywood maka alternatif non-Hollywood terasa “di bawah standar”.

Memang Hollywood tak semata menyimpan kekuatan pada marketing-nya saja. Mereka juga berevolusi. Salah satu penyangga keberhasilan pemasaran mereka adalah inovasi terus-menerus – baik inovasi teknis maupun inovasi konsep kreatif. Sebagai industri, Hollywood jelas tak bersih dari ‘penyakit’ cari untung mudah dengan memproduksi produk-produk yang murah dan bermutu rendah. Bedanya dengan industri film di belahan dunia lain (seperti India atau Amerika Latin dengan telenovela mereka), Hollywood relatif rajin menelurkan karya-karya bermutu/inovatif, sambil tetap mempertahankan kesadaran pasar dalam produk-produk mereka.

Inovasi itulah yang memungkinkan sebuah evolusi kreatif di Hollywood berupa letupan ‘genre’ dongeng yang kini kita saksikan. Terus terang, sebutan “genre” dan “dongeng” sekedar untuk memudahkan penangkapan sebuah benang merah: ada kecenderungan Hollywood semakin banyak memproduksi film-film yang bukan jenis Realisme.

Harap dicatat, batas-batas “Realisme” dan “bukan Realisme” bisa amat kabur di Hollywood. Misalnya, situasi-situasi aksi dalam trilogi Die Hard atau serial Lethal Weapon (dan genre film aksi menempati porsi amat besar di Hollywood) jelas tak terjadi dalam kenyataan sehari-hari. Tapi karena elemen realitas hadir secara signifikan (para jagoan aksi itu, betapapun, tak bisa terbang, misalnya), maka genre tersebut tak ditempatkan dalam jajaran dongeng. Sebaliknya, betapapun “nyata”-nya adegan-adegan E.T. atau X-files (bahkan banyak yang yakin betul bahwa cerita-cerita X-files memang berdasarkan kenyataan), toh film-film tersebut tak bisa disebut mengikut Realisme: mereka tak setia pada apa yang oleh kebanyakan orang disepakati sebagai “realitas”.

Dan itulah “dongeng”: ia, dengan sadar dan sengaja, menolak obsesi mimesis – peniruan dunia nyata sepersis mungkin. Kita akan bicara lebih lanjut soal konsep “dongeng” nanti. Yang jelas kini adalah bahwa sebutan “dongeng” mencakup sekian banyak genre film yang berbeda: science fiction, fabel (seperti Babe), petualangan, horor, kartun/animasi, dan sebagainya.

Semua genre itu kini dimungkinkan untuk tampil optimal secara visual, pertama-tama, karena inovasi teknis – khususnya, inovasi teknologis. Dua orang yang paling berjasa di bidang ini adalah Steven Spielberg dan George Lucas.

George Lucas barangkali contoh sebuah fokus yang berhasil. Sejak muda ia tampil sebagai sineas berbakat (misalnya dengan film American Grafitti yang banyak dipuji para kritisi). Secara komersial pun ia telah terbukti berhasil, lewat Star Wars. Tapi gairahnya terhadap special effect – khususnya setelah ia mengalami tantangan-tantangan visual dalam trilogi Star Wars – membawanya pada keinginan memfokuskan diri di bidang inovasi teknologis film, dan untuk itu ia rela berhenti membuat film dulu! Ia mendirikan Industrial Light Magic (ILM), perusahaan yang paling bertanggung jawab atas berbagai inovasi teknologis di Hollywood dalam dua dasawarsa terakhir. Dari ILM-lah, terutama, inovasi-inovasi robot, miniatur, hingga animasi komputer morph diarahkan untuk memanjakan sensasi para penikmat dongeng visual dimanapun.

Dengan teknologi kita bisa terkekeh ‘melihat’ John Lennon ternyata mendapat inspirasi lagu Imagine dari tokoh fiktif Forrest Gump; atau bersimpati pada Draco, naga yang bijak dan emosional dalam Dragon Heart; atau takjub pada 'tarian' Keanu Reeves dalam berkungfu dan menghindari peluru dalam The Matrix; atau gembira melihat pertandingan basket yang seru antara Michael Jordan dengan para tokoh kartun melawan para makhluk planet dalam Space Jam. Tapi bukan teknologi semata yang penting.

Di Hollywood (di mana pun, sebetulnya), teknologi berjabat erat dengan imajinasi. Dan salah satu benak yang paling kaya imajinasi adalah Steven Spielberg. Semenjak E.T., ia layak disebut juru dongeng modern. Spielberg adalah salah satu sineas yang paling keras kepala dalam mewujudkan imajinasi secara visual. Dan dengan mendirikan Amblin Entertainment, ia menularkan semangat kreatifnya ke sutradara-sutradara muda.

Kini, Hollywood relatif tak punya problem teknis dalam memvisualkan imajinasi. Sinema-sinema dongeng (dan juga genre lain) kini semakin matang secara visual (artinya, makin nikmat dilihat; dan bisa amat artistik, kalau mau). Tapi kematangan dongeng-dongeng visual ini sebagai suatu karya sinematis yang utuh juga bergantung pada faktor lain: kematangan konsep.


Konsep, cerita

George Lucas mengawali suksesnya di Hollywood dengan sebuah sinopsis berjumlah 12 halaman. Para pemodal besar, produsen, tertarik. Dan nyatalah ketika produknya jadi – trilogi Star Wars (yang konon kini sedang dipoles lagi untuk diedarkan ulang) – cerita itu menciptakan sebuah tradisi dan rantai produk (komik, novel, souvenir, dll.) yang tetap laris hingga kini. Kenapa?

Dalam sinopsis 12 halaman itu Lucas tak cuma menawarkan seru-seruan perang bintang, tapi ia juga menciptakan sebuah (embrio) universum yang koheren. Ia tak cuma menawarkan cerita, tapi sebuah konsep.

Lucas menawarkan sebuah konsep dalam bentuk dongeng. Tapi “dongeng” pun adalah sebuah konsep tersendiri. Tanpa terlalu melibatkan diri pada perbincangan diskursif yang amat ketat mengenai konsep “dongeng” (pasti butuh ruang tersendiri), dapat disimpulkan bahwa dongeng adalah sejenis bentuk tuturan yang amat didominasi unsur imajinatif; dan bahwa dongeng adalah salah satu medium untuk menyampaikan berbagai pesan, ide, ajaran, dan pengalaman emosional serta persaksian akan hidup manusia.

Tapi dongeng – betapapun besar jasanya dalam sekian abad peradaban manusia – sempat dijauhi, khususnya dalam alam modern ini. Dalam skala pribadi, seolah menjadi “konvensi bisu” bahwa jika seseorang beranjak dewasa, ia tak boleh lagi menikmati dongeng. Dalam skala peradaban, muncul pretensi bahwa sebuah peradaban “maju” mestilah bersih dari unsur-unsur “takhyul”, “mitos”, “legenda” dan sebagainya; dan secara umum ditekankan bahwa “kebenaran ilmiah” lebih bermakna daripada dongeng.

Kini asumsi-asumsi tersebut mulai banyak digugat. Dongeng pun mulai diapresiasi kembali tanpa menyempitkannya menjadi “sekedar konsumsi anak-anak”. Dunia sastra menunjukkan bahwa elemen dongeng bisa menjadi bagian yang amat sah, dan amat menarik, seperti terlihat, misalnya, dalam karya-karya Marquez, Salman Rushdie, Ben Okri, Isabelle Alende (yang salah satu karyanya difilmkan, yaitu House of the Spirit), Gunter Grass (juga salah satu karyanya, Tin Drum – tentang seorang anak yang menolak menjadi dewasa, dan mengiringi sejarah modern Jerman dalam kekanakannya yang menetap, pernah difilmkan) atau Danarto (yang karya-karyanya pernah dibayangkan Romo Mangun akan difilmkan) dan Seno Gumira Adjidarma.

Karya-karya itu agak berbeda dengan dongeng-dongeng klasik ala Grimm, HC Andersen atau Tolkien: dongeng-dongeng ‘baru’ itu lahir dari sebuah modernisme yang luka. Dalam intensitas yang beragam, mereka ingin mewartakan luka itu. “Kenyataan” adalah sesuatu yang problematis buat mereka. Ada bermacam “kenyataan”: kenyataan ilmiah, empirik, “resmi” – yang semakin tampak tak bersih dari kepentingan-kepentingan politik, sehingga kenyataan “sesungguhnya” (ketidakadilan, penggusuran, manipulasi) seringkali tertutupi.

Tak heran jika bentuk cerita Realisme yang merajai sastra modern tak lagi memuaskan mereka. Salah satu bentuk perlawanan terhadap (pretensi) realisme dalam tradisi bercerita modern adalah hadirnya bentuk metafiksi. Istilah ini digunakan pertama kali oleh Gass (1970) dan diangkat ke permukaan oleh Patricia Waugh. Unsur metafiksi inilah yang bisa dianggap memberi bobot “dongeng” pada genre sastra kontemporer di atas -- yang oleh sebagian disebut cerita “fantasi”; dan oleh yang lain, “realisme magis”. (Perlu dicatat bahwa menurut Waugh, unsur metafiksi telah muncul – secara potensial – sejak mula sejarah fiksi modern; jadi, bukan baru ada pada genre cerita mutakhir tersebut saja)

Metafiksi adalah sejenis fiksi yang secara eksplisit menelanjangi kondisinya sebagai rekaan; ia dibangun atas dasar oposisi terus-menerus – ia membangun ilusi, sekaligus menelanjangi bahwa yang dibangun itu adalah ilusi (Waugh, 1984). Menurut Waugh, ciri metafiksi bisa tampak pada unsur-unsur cerita (histoire) maupun penyajiannya (discours).

Menurut saya, dunia selanjutnya – setelah sastra – yang kondusif terhadap bentuk mutakhir penceritaan tersebut adalah dunia film. Teknologi film telah matang. Evolusi diskursif cerita-cerita film mutakhir telah semakin memberi peluang (secara diskursif, karya-karya sinematis terbaik mutakhir memang relatif terasa semakin “cerdas” dari jaman, misalnya, Gone With The Wind). Dan pasar pun tampaknya semakin siap.

Maka unsur metafiksi pun memasuki ruang kreatif film secara leluasa, dan menjadikan ladang dongeng-dongeng visual semakin subur. Semakin banyak karya-karya sinematis yang tak terlalu ambil pusing apakah cerita mereka “benar terjadi”; tapi lebih mengasyiki bahwa cerita itu “mungkin terjadi”.

Jajaran karya Tim Burton bisa menjadi contoh. Edward Scissorshand berkutat pada kesepian seorang anak bertangan gunting. Batman dan Batman Return meneropong problem kejiwaan sang pahlawan yang hampir paralel dengan problem kejiwaan para musuhnya. Bahkan karya biografis Ed Wood pun mengandung unsur metafiksi yang kuat lewat pilihan medium hitam-putih dan cerita penuh parodi dengan sekian situasi yang absurd. Pada Sleepy Hollow, Burton meracik dengan asyik antara dunia sains dan dunia sihir/gaib, dan memberi kita legenda dengan sentuhan humor kelam: kepala-kepala yang begitu mudahnya bergelindingan.

“Yang mungkin” tampil lugas dalam dongeng-dongeng visual, berkat perkembangan teknis yang semakin matang. Sedangkan konsep (dan sesudah itu cerita) memungkinkan terjadi sebuah dialog antara penonton dengan karya sinematis yang terpampang di layar. Penonton sadar betul bahwa dirinya sedang dikibuli, tapi toh dengan nikmat terbawa emosi, bahkan kalau perlu berrefleksi.

Tentu saja, dalam evolusi kreatif tersebut masih tersedia ruang yang besar untuk karya-karya yang kurang bermutu, bahkan buruk. Contoh nyata adalah Independence Day yang mengeksploitasi Amerikanisme (dalam sisinya yang serba koboi dan superior) dalam bangun dongengnya – dan dengan rancangan marketing yang gila-gilaan, menjualnya ke seluruh dunia (di sini, layaklah kita bicara soal “ekspor ideologi”). Wajar. Tapi bukan berarti kita mesti pesimis terhadap kelanjutan artistik medium ini.


Kita?

Terakhir, sedikit renungan. Menelaah evolusi kreatif di Hollywood mungkin bisa membuat kita minder. Dunia film negeri ini adalah sebuah pembicaraan tersendiri yang kompleks. Betapapun, kita tak akan bisa menjadi Hollywood (dan, sebetulnya, tak perlu). Tapi bukan berarti kita tak bisa ikut mendongeng lewat film, kan?

Ada banyak bahan mentah yang masih menunggu digarap di sekitar kita. Kita punya Danarto, Seno Gumira, Putu Wijaya, Idrus dan banyak lagi. Kita punya ratusan legenda. Kita juga punya Asmaraman S. Khoo Ping Hoo (Kisah Singosari-nya sungguh menarik jika difilmkan), jagoan-jagoan komik Ganes TH., Djair, Taguan Hardjo, dan sebagainya. Kenapa tidak? Local Content bisa menarik kok, apalagi jika disambut secara optimal oleh para local genius. Dan medium film itu sendiri (jika kita cuma bicara sebuah medium kreatifitas, belum soal-soal lain), seperti dicontohkan di atas, cuma butuh kunci kematangan teknis (yang disesuaikan dengan situasi lokal yang serba terbatas), dan konsep yang kuat – disamping soal modus produksi yang memang khas dan patut dipelajari, untuk bisa disiasati. Tapi memang tak mudah. Tak ada yang mudah di negeri ini.
                                                                                             

Komentar

tk dhifa mengatakan…
luar biasa..mudah mudahan bisa tumbuh kembali budaya dongeng kita..aminnnnn.salam dari kami..yang inging maju bersama.......sukses...paud...generasi bangsa kita...

Postingan populer dari blog ini

Kak Imung

Kak Poetri (Poetri Suhendro)

Kak Wuntat Wawan Sembodo